Rabu, 17 November 2010

Bersuci

Thoharoh (Bersuci)

Arti Thoharoh, menurut bahasa adalah “Bersih”, tetapi menurut Syara’, artinya adalah bersih dari Hadats dan Najis. Dan bersuci dikarenakan Hadats hanya bagian Badan saja.
HADATS ADA DUA MACAM :
1. Hadats - Besar
2. Hadats - Kecil.
Cara menghilangkan Hadats besar ialah dengan Mandi atau Tayamum. Menghilangkan Hadats kecil bisa dengan Berwudhuk atau Tayamum. Bersuci dari Najis berlaku pada “Badan. Pakaian. dan Tempat”. Dan cara menghilangkannya ialah harus dicuci dengan Air Suci dan Mensucikan, yakni air bersih.

Kedudukan Thoharoh dalam Ibadat.
Thoharoh (bersuci) adalah suatu masalah yang penting dalam Agama Islam. Dan merupakan pangkal dan pokok dari Ibadah yang menjadi penyongsong (mengawali) bagi manusia dalam menghubungkan diri kepada Allah SWT.

عَـنْ أَبِـى مَالـِكٍ الأَشْـعَـرِى قَالَ : قَالَ رَسُـوْ لُ الـلّــــهْ صَـلَّى الـلّــــهُ عَــلَــيْـهِ وَسَــلَّـمَ الـطَّــهُوْرُ شَـطْـرَ اْلإِ يــْـمَانِ ، وَ الْـحَـمْـدُ لـِلّــــــــهِ
تَــمْـلأُ الْـمِـزَ انَ وَسُــبْحَانَ الـلّــــــهِ وَ ا لْـحَـمْـدُ لِـلّــــــهِ تَــمْــلآ نِ
أَوْ تَــمْـلأُ مَابـَـيْـنَ السَّــمـوَاتِ وَ اْلأَرْضِ وَ الصَّــــــــــــــلاَ ةُ نُــوْ رٌ، وَ الصَّـدَ قَـةُ بـُرْهَـانٌ وَ الصَّــبْــرُ ضِـيَاءٌ وَ الْــقُـرْآ نُ حُـجَــةٌ لَـكَ أَوْعَـلَــيْـكَ كُـلُّ الـنَّا سِ يَـخْـدُوْ فَــبَا ئِــحَ نَــفْـسَــهُ فَــمُـعَــتِــقُــهَا أَوْ مُـوْ بِــقُــهَـا

“Dari Abu Malik Asy-‘Ariy, katanya : “Bersabda Rasulullah Saw. “Kebersihan itu sebagian dari ke-Imanan. Membaca Shubhanallah dan Al-Hamdulillah. Pahalanya sebesar Langit dan Bumi. Sholat itu Pelita. Sedekah itu Bakti. Sabar itu Cahaya. Dan Al-Qur-aan itu akan menjadi Kawan atau Lawanmu. Manusia itu sepanjang hidupnya bekerja untuk keselamatan dirinya atau kecelakaan buat dirinya”. (H.R. Muslim)

Tidak Sah Sholat seseorang, jika tidak dengan ber-Thoharoh. Sabda Rasulullah Saw :
عَنِ ابْـنِ عُمَرَ قَالَ: إِ نِّـى سَمِعْتُ رَسُـوْلُ الـلّــهِ صَلَّـى الـلّـهُ عَـلَـيْهِ وَسَـلَّمَ يَـقُـوْ لُ:لاَ تُــقْــبَـلُ صَـلاَ ةٌ بِــغَـيْـرِطَــهُـوْ رٍ وَ لاَ صَـدَ قَــةٌ مِــنْ غُـــلُــوْ لٍ

“Dari Ibnu ‘Umar r.a. ia berkata : “Kudengar Rasulullah Saw. Bersabda Katanya :”Tidak diterima Sholat tanpa bersuci. Begitu pula Sedekah yang didapat dari Korupsi”. (H.R. Muslim)

عَنْ أَبِـى هُرَ يْـرَ ةَ عَن مُحَـمَّـدٍرَسُـوْ لِ الـلّــهِ صَـلَّى الـلّــهُ عَـلَـــيْـهِ وَ سَــلَّـمَ فَـذَ كَـرَ أَحَادِ يْثَ مِـنْـهَا وَ قَـالَ رَسُـوْلَ الـلّـهِ صَـلَّى الـلّــهُ عَـلَــيْــهِ وَ سَــلَّـمَ :لاَ تُــقْــبَـلُ صَـلاَ ةَ أَحَـدِكُــمْ إِ ذَا أَحْــدَثَ حَــتَّى يَــتََــوَ ضَّــأَ

"Dari Abu Hurairah r.a. berkata : Bersabda Rasulullah Saw :“Tidak sah Sholat seseorang yang berhadats. Sebelum ia berwudhuk”. (H.R. Muslim)

Selasa, 16 November 2010

Hubungan Seksual Suami Istri


HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI-ISTRI
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
 
Pertanyaan:
 
Sebagaimana diketahui, bahwa seorang Muslim tidak boleh malu
untuk  menanyakan  apa  saja  yang  berkaitan  dengan hukum
agama, baik yang bersifat umum maupun pribadi.
 
Oleh karena itu, izinkanlah kami mengajukan suatu pertanyaan
mengenai    hubungan   seksual   antara   suami-istri   yang
berdasarkan  agama,  yaitu  jika  si  istri  menolak  ajakan
suaminya  dengan alasan yang dianggap tidak tepat atau tidak
berdasar. Apakah  ada  penetapan  dan  batas-batas  tertentu
mengenai  hal  ini,  serta apakah ada petunjuk-petunjuk yang
berdasarkan syariat Islam  untuMk  mengatur  hubungan  kedua
pasangan, terutama dalam masalah seksual tersebut?
 
Jawab:
 
Benar,  kita  tidak  boleh bersikap malu dalam memahami ilmu
agama, untuk  menanyakan  sesuatu  hal.  Aisyah  r.a.  telah
memuji  wanita  Anshar,  bahwa  mereka tidak dihalangi sifat
malu   untuk   menanyakan   ilmu   agama.   Walaupun   dalam
masalah-masalah  yang berkaitan dengan haid, nifas, janabat,
dan lain-lainnya, di hadapan umum  ketika  di  masjid,  yang
biasanya  dihadiri  oleh orang banyak dan di saat para ulama
mengajarkan  masalah-masalah  wudhu,  najasah   (macam-macam
najis), mandi janabat, dan sebagainya.
 
Hal serupa juga terjadi di tempat-tempat pengajian Al-Qur'an
dan hadis yang ada hubungannya dengan masalah tersebut, yang
bagi  para  ulama  tidak ada jalan lain, kecuali dengan cara
menerangkan secara  jelas  mengenai  hukum-hukum  Allah  dan
Sunnah   Nabi   saw.   dengan  cara  yang  tidak  mengurangi
kehormatan  agama,  kehebatan  masjid  dan  kewibawaan  para
ulama.
 
Hal  itu  sesuai  dengan  apa  yang  dihimbau oleh ahli-ahli
pendidikan pada saat ini. Yakni, masalah hubungan ini,  agar
diungkapkan secara jelas kepada para pelajar, tanpa ditutupi
atau dibesar-besarkan, agar dapat dipahami oleh mereka.
 
Sebenarnya,  masalah   hubungan   antara   suami-istri   itu
pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka, maka hendaknya
memperhatikan dan menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan
kesalahan   dan  kerusakan  terhadap  kelangsungan  hubungan
suami-istri. Kesalahan yang  bertumpuk  dapat  mengakibatkan
kehancuran bagi kehidupan keluarganya.
 
Agama  Islam  dengan  nyata tidak mengabaikan segi-segi dari
kehidupan manusia  dan  kehidupan  berkeluarga,  yang  telah
diterangkan  tentang  perintah  dan larangannya. Semua telah
tercantum  dalam  ajaran-ajaran  Islam,  misalnya   mengenai
akhlak,  tabiat,  suluk,  dan sebagainya. Tidak ada satu hal
pun yang diabaikan (dilalaikan).
 
1. Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan
   dorongannya akan seksual, serta ditentangnya tindakan
   ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh karena
   itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan
   memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak
   untuk selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi
   saw, yaitu menikah.
   
   Nabi saw. telah menyatakan sebagai berikut:
   
   "Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku lebih
   khusyu, kepada Allah daripada kamu, tetapi aku bangun malam,
   tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka,
   barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka dia
   bukan termasuk golonganku."
   
2. Islam telah menerangkan atas hal-hal kedua pasangan
   setelah pernikahan, mengenai hubungannya dengan cara
   menerima dorongan akan masalah-masalah seksual, bahkan
   mengerjakannya dianggap suatu ibadat. Sebagaimana keterangan
   Nabi saw.:
   
   "Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala)." Para sahabat
   bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh
   dengan istri akan mendapat pahala?" Rasulullah saw.
   menjawab, "Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang
   dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakuknn
   pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya
   menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak
   menghitung hal-hal yang baik."
 
Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang
lebih  agresif,  tidak  memiliki  kesabaran dan kurang dapat
menahan diri. Sebaliknya  wanita  itu  bersikap  pemalu  dan
dapat menahan diri.
 
Karenanya   diharuskan  bagi  wanita  menerima  dan  menaati
panggilan suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis:
 
"Jika si istri dipanggil oleh suaminya  karena  perlu,  maka
supaya  segera  datang,  walaupun  dia  sedang masak." (H.r.
Tirmidzi, dan dikatakan hadis Hasan).
 
Dianjurkan oleh Nabi saw.  supaya  si  istri  jangan  sampai
menolak   kehendak   suaminya   tanpa   alasan,  yang  dapat
menimbulkan  kemarahan  atau  menyebabkannya  menyimpang  ke
jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.
 
Nabi saw. telah bersabda:
 
"Jika  suami  mengajak  tidur  si  istri  lalu  dia menolak,
kemudian  suaminya  marah  kepadanya,  maka  malaikat   akan
melaknat dia sampai pagi." (H.r. Muttafaq Alaih).
 
Keadaan  yang  demikian  itu  jika  dilakukan tanpa uzur dan
alasan yang masuk akal, misalnya sakit, letih,  berhalangan,
atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu,
menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah swt.  adalah
Tuhan  bagi  hamba-hambaNya  Yang  Maha  Pemberi  Rezeki dan
Hidayat,  dengan  menerima  uzur  hambaNya.  Dan   hendaknya
hambaNya juga menerima uzur tersebut.
 
Selanjutnya,  Islam  telah  melarang bagi seorang istri yang
berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya  lebih
diutamakan  untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala
puasa.
 
Nabi saw. bersabda:
 
"Dilarang bagi si istri (puasa  sunnah)  sedangkan  suaminya
ada, kecuali dengan izinnya." (H.r. Muttafaq Alaih).
 
Disamping  dipeliharanya  hak  kaum  laki-laki (suami) dalam
Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga  harus  dipelihara
dalam  segala  hal.  Nabi  saw.  menyatakan kepada laki-laki
(suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam.
 
Beliau bersabda:
 
"Sesungguhnya bagi  jasadmu  ada  hak  dan  hagi  keluargamu
(istrimu) ada hak."
 
Abu  Hamid  Al-Ghazali,  ahli fiqih dan tasawuf? dalam kitab
Ihya' mengenai adab bersetubuh, beliau berkata:
 
"Disunnahkan memulainya dengan membaca Bismillahirrahmaanir-
rahiim dan berdoa, sebagaimana Nabi saw. mengatakan:
 
"Ya Allah,jauhkanlah aku dan setan dan jauhkanlah setan dari
apa yang Engkau berikan kepadaku'."
 
Rasulullah  saw.  melanjutkan sabdanya, "Jika mendapat anak,
maka tidak akan diganggu oleh setan."
 
Al-Ghazali berkata, "Dalam  suasana  ini  (akan  bersetubuh)
hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan
dan sebagainya; dan  menutup  diri  mereka  dengan  selimut,
jangan  telanjang  menyerupai  binatang.  Sang  suami  harus
memelihara suasana dan  menyesuaikan  diri,  sehingga  kedua
pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas."
 
Berkata  Al-Imam  Abu  Abdullah  Ibnul Qayyim dalam kitabnya
Zaadul Ma'aad Fie Haadii Khainrul  'Ibaad,  mengenai  sunnah
Nabi   saw.   dan   keterangannya   dalam  cara  bersetubuh.
Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata:
 
Tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu ialah:
 
1. Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah
   yang ditetapkan menurut takdir Allah.
   
2. Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan
   jika ditahan terus.
   
3. Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana
   kelak di surga.
 
Ditambah  lagi  mengenai  manfaatnya,   yaitu:   Menundukkan
pandangan,  menahan  nafsu,  menguatkan  jiwa dan agar tidak
berbuat  serong  bagi  kedua  pasangan.  Nabi   saw.   telah
menyatakan:
 
"Yang  aku  cintai  di  antara  duniamu  adalah  wanita  dan
wewangian."
 
Selanjutnya Nabi saw. bersabda:
 
"Wahai para  pemuda!  Barangsiapa  yang  mampu  melaksanakan
pernikahan,  maka  hendaknya  menikah.  Sesungguhnya hal itu
menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan."
 
Kemudian   Ibnul   Qayyim   berkata,   "Sebaiknya   sebelum
bersetubuh  hendaknya  diajak bersenda-gurau dan menciumnya,
sebagaimana Rasulullah saw. melakukannya."
 
Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam  usaha  mencari
jalan  baik  tidak  bersifat konservatif, bahkan tidak kalah
kemajuannya daripada penemuan-penemuan  atau  pendapat  masa
kini.
 
Yang  dapat  disimpulkan  di  sini adalah bahwa sesungguhnya
Islam  telah  mengenal  hubungan  seksual   diantara   kedua
pasangan,   suami   istri,   yang  telah  diterangkan  dalam
Al-Qur'anul  Karim   pada   Surat   Al-Baqarah,   yang   ada
hubungannya dengan peraturan keluarga.
 
Firman Allah swt.:
 
"Dihalalkan  bagi  kamu  pada  malam  hari  puasa, bercampur
dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah  pakaian  bagimu,
dan  kamu  pun  adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat  menahan  nafsumu,  karena  itu,
Allah  mengampuni  kamu  dan  memberi  maaf  kepadamu.  Maka
sekarang campurilah  mereka  dan  ikutilah  apa  yang  telah
ditetapkan  Allah  untukmu,  dan makan minumlah kamu, hingga
jelas bagimu benang putih dari benang  hitam,  yaitu  fajar.
Kemudian,  sempurnakanlah  puasa  itu sampai malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf
dalam  masjid.  Itulah  larangan  Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya ..." (Q.s. Al-Baqarah: 187).
 
Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai
hubungan  antara suami-istri, kecuali yang telah disebutkan,
yaitu:
 
"Mereka itu adalah  pakaian  bagimu,  dan  kamu  pun  adalah
pakaian bagi mereka." (Q.s. Al-Baqarah 187).
 
Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu:
 
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu
adalah  suatu  kotoran.  Oleh  sebab  itu,  hendaklah   kamu
menjauhkan  diri  dari  wanita  di waktu haid; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.  Apabila  mereka
telah  suci  maka  campurilah  mereka  itu  di  tempat  yang
diperintahkan Allah kepadamu.  Sesungguhnya  Allah  menyukai
orang-orang  yang  bertobat  dan  menyukai  orang-orang yang
menyucikan diri.
 
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah  tempat  kamu  bercocok
tanam,  maka  datangilah  tanah  tempat bercocok tanammu itu
dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki.  Dan  kerjakanlah
(amal  yang  baik)  untuk  dirimu,  dan takwalah kamu kepada
Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan  menemuiNya.  Dan
berilah  kabar gembira bagi orang-orang yang beriman." (Q.s.
Al-Baqarah: 222-223).
 
Maka, semua hadis yang  menafsirkan  bahwa  dijauhinya  yang
disebut  pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan saja.
Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.
 
Pada ayat di atas disebutkan:
 
"Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan  cara
bagaimanapun kamu kehendaki." (Q.s. Al-Baqarah: 223).
 
Tidak  ada suatu perhatian yang melebihi daripada disebutnya
masalah   dan   undang-undang   atau   peraturannya    dalam
Al-Qur'anul  Karim  secara langsung, sebagaimana diterangkan
di atas.
 
---------------------------------------------------
FATAWA QARDHAWI, Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Penerbit Risalah Gusti
Cetakan Kedua, 1996
Jln. Ikan Mungging XIII/1
Telp./Fax. (031) 339440
Surabaya 60177
share : http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Wanita/
 

Hak Isteri atas Suami

HAK ISTERI ATAS SUAMI                Dr. Yusuf Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Saya menikah  dengan  seorang  laki-laki  yang  usianya
lebih  tua  daripada saya dengan selisih lebih dari dua
puluh tahun. Namun,  saya  tidak  menganggap  perbedaan
usia    sebagai   penghalang   yang   menjauhkan   saya
daripadanya atau membuat saya lari  daripadanya.  Kalau
dia  memperlihatkan  wajah,  lisan,  dan hatinya dengan
baik sudah barang tentu hal  itu  akan  melupakan  saya
terhadap  perbedaan  usia ini. Tetapi sayang, semua itu
tak saya peroleh. Saya tidak pernah  mendapatkan  wajah
yang  cerah,  perkataan  manis, dan perasaan hidup yang
menenteramkan.   Dia   tidak   begitu   peduli   dengan
keberadaan saya dan kedudukan saya sebagai isteri.
 
Dia  memang  tidak  bakhil  dalam  memberi  nafkah  dan
pakaian, sebagaimana dia juga  tidak  pernah  menyakiti
badan  saya.  Tetapi,  tentunya  bukan  cuma  ini  yang
diharapkan oleh seorang isteri terhadap suaminya.  Saya
melihat  posisi  saya  hanya sebagai objek santapannya,
untuk  melahirkan  anak,  atau   sebagai   alat   untuk
bersenang-senang  manakala  ia  butuh bersenang-senang.
Inilah yang menjadikan saya merasa  bosan,  jenuh,  dan
hampa.  Saya  merasakan  hidup  ini sempit. Lebih-lebih
bila saya melihat teman-teman saya yang  hidup  bersama
suaminya   dengan   penuh  rasa  cinta,  tenteram,  dan
bahagia.
 
Pada suatu kesempatan saya  mengadu  kepadanya  tentang
sikapnya  ini,  tetapi  dia  menjawab  dengan bertanya,
"Apakah aku kurang dalam  memenuhi  hakmu?  Apakah  aku
bakhil dalam memberi nafkah dan pakaian kepadamu?"
 
Masalah  inilah  yang ingin saya tanyakan kepada Ustadz
agar suami isteri  itu  tahu:  Apakah  hanya  pemenuhan
kebutuhan  material  seperti makan, minum, pakaian, dan
tempat tinggal itu saja yang  menjadi  kewajiban  suami
terhadap  isterinya  menurut hukum syara'? Apakah aspek
kejiwaan tidak ada nilainya  dalam  pandangan  syari'at
Islam yang cemerlang ini?
 
Saya,  dengan  fitrah  saya  dan  pengetahuan saya yang
rendah ini, tidak percaya kalau ajaran Islam  demikian.
Karena  itu, saya mohon kepada Ustadz untuk menjelaskan
aspek psikologis  ini  dalam  kehidupan  suami  isteri,
karena hal itu mempunyai dampak yang besar dalam meraih
kebahagiaan dan kesakinahan sebuah rumah tangga.
 
Semoga Allah menjaga Ustadz.
 
JAWABAN
 
Apa yang  dipahami  oleh  saudara  penanya  berdasarkan
fitrahnya   dan  pengetahuan  serta  peradabannya  yang
rendah itu  merupakan  kebenaran  yang  dibawakan  oleh
syari'at Islam yang cemerlang.
 
Syari'at   mewajibkan   kepada   suami  untuk  memenuhi
kebutuhan  isterinya  yang  berupa  kebutuhan  material
seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan
sebagainya, sesuai dengan kondisi masing- masing,  atau
seperti  yang  dikatakan  oleh  Al  Qur'an "bil ma'ruf"
(menurut cara yang ma'ruf/patut)
 
Namun,   Syari'at   tidak   pernah    melupakan    akan
kebutuhan-kebutuhan  spiritual  yang  manusia  tidaklah
bernama     manusia     kecuali      dengan      adanya
kebutuhan-kebutuhan  tersebut, sebagaimana kata seorang
pujangga  kuno:  "Maka  karena  jiwamu  itulah   engkau
sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu."
 
Bahkan  Al Qur'an menyebut perkawinan ini sebagai salah
satu ayat diantara ayat-ayat Allah di alam semesta  dan
salah    satu    nikmat   yang   diberikan-Nya   kepada
hamba-hamba-Nya. Firman-Nya:
 
"Dan  diantara  tanda-tanda  kekuasaan-Nya  ialah   Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan  merasa  tenteram  kepadanya,
dan  dijadikan-Nya  diantaramu  rasa  kasih dan sayang.
Sesungguhnya  pada  yang   demikian   itu   benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar Rum:
21)
 
Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup  bersuami
isteri ialah ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang
antara  keduanya,  yang  semua  ini   merupakan   aspek
kejiwaan,  bukan  material. Tidak ada artinya kehidupan
bersuami isteri yang  sunyi  dari  aspek-aspek  maknawi
ini, sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan.
 
Dalam  hal  ini banyak suami yang keliru - padahal diri
mereka sebenarnya baik - ketika  mereka  mengira  bahwa
kewajiban  mereka  terhadap isteri mereka ialah memberi
nafkah, pakaian, dan tempat  tinggal,  tidak  ada  yang
lain  lagi.  Dia  melupakan  bahwa  wanita (isteri) itu
bukan hanya  membutuhkan  makan,  minum,  pakaian,  dan
lain-lain  kebutuhan  material, tetapi juga membutuhkan
perkataan yang baik,  wajah  yang  ceria,  senyum  yang
manis,   sentuhan   yang  lembut,  ciuman  yang  mesra,
pergaulan yang penuh kasih  sayang,  dan  belaian  yang
lembut   yang   menyenangkan   hati  dan  menghilangkan
kegundahan.
 
Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami isteri dan
adab   pergaulan   diantara   mereka   yang   kehidupan
berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua  itu.
Diantara  adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur'an dan
Sunnah itu ialah berakhlak yang  baik  terhadapnya  dan
sabar dalam menghadapi godaannya. Allah berfirman:
 
"...  Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan cara
yang ma'ruf (patut) ..., An Nisa': 19)
 
"... Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil  dari
kamu perjanjian yang kuat." (An Nisa': 21 )
 
"...  Dan  berbuat  baiklah kepada dua orang ibu bapak,
karib kerabat,  anak-anak  yatim,  orang-orang  miskin,
tetangga  yang  dekat  dan  tetangga  yang  jauh, teman
sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu ...." (An Nisa:
36)
 
Ada  yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "teman
sejawat" dalam ayat di atas ialah isteri.
 
Imam Ghazali berkata, "Ketahuilah bahwa berakhlak  baik
kepada  mereka  (isteri)  bukan  cuma  tidak  menyakiti
mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka,  dan
penyantun  ketika  mereka  sedang  emosi  serta  marah,
sebagaimana diteladankan Rasulullah saw.  Isteri-isteri
beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi
perkataan, bahkan pernah ada pula  salah  seorang  dari
mereka menghindari beliau sehari semalam.
 
Beliau pernah berkata kepada Aisyah, "Sungguh, aku tahu
kalau engkau  marah  dan  kalau  engkau  rela."  Aisyah
bertanya,  "Bagaimana  engkau  tahu?"  Beliau menjawab,
"Kalau engkau rela, engkau berkata, 'Tidak, demi  Tuhan
Muhammad,'  dan  bila  engkau  marah,  engkau  berkata,
'Tidak, demi Tuhan Ibrahim.' Aisyah  menjawab,  "Betul,
(kalau   aku  marah)  aku  hanya  menghindari  menyebut
namamu."
 
Dari adab  yang  dikemukakan  Imam  Ghazali  itu  dapat
ditambahkan  bahwa  disamping  bersabar  menerima  atau
menghadapi kesulitan isteri, juga  bercumbu,  bergurau,
dan  bermain-main  dengan  mereka, karena yang demikian
itu dapat menyenangkan  hati  wanita.  Rasulullah  saw.
biasa   bergurau   dengan   isteri-isteri   beliau  dan
menyesuaikan diri dengan pikiran mereka dalam bertindak
dan   berakhlak,  sehingga  diriwayatkan  bahwa  beliau
pernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.
 
Umar r.a. - yang dikenal berwatak keras  itu  -  pernah
berkata,  "Seyogyanya  sikap  suami  terhadap isterinya
seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada
disisinya  (keadaan  yang  sebenarnya)  maka dia adalah
seorang laki-laki."
 
Dalam menafsirkan hadits: "Sesungguhnya Allah  membenci
alja'zhari  al-jawwazh,"  dikatakan bahwa yang dimaksud
ialah  orang  yang  bersikap  keras   terhadap   isteri
(keluarganya)   dan   sombong  pada  dirinya.  Dan  ini
merupakan salah satu makna  firman  Allah:  'utul.  Ada
yang  mengatakan  bahwa  lafal 'utul berarti orang yang
kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya.
 
Keteladanan tertinggi bagi semua itu  ialah  Rasulullah
saw.   Meski   bagaimanapun   besarnya   perhatian  dan
banyaknya kesibukan beliau dalam  mengembangkan  dakwah
dan  menegakkan  agama,  memelihara jama'ah, menegakkan
tiang daulah dari dalam dan memeliharanya dari serangan
musuh  yang  senantiasa  mengintainya dari luar, beliau
tetap  sangat  memperhatikan  para  isterinya.   Beliau
adalah manusia yang senantiasa sibuk berhubungan dengan
Tuhannya seperti berpuasa, shalat,  membaca  Al-Qur'an,
dan berzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena
lamanya  berdiri  ketika  melakukan  shalat  lail,  dan
menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.
 
Namun,  sesibuk  apa  pun beliau tidak pernah melupakan
hak-hak isteri-isteri beliau yang harus beliau  penuhi.
Jadi,  aspek-aspek  Rabbani  tidaklah  melupakan beliau
terhadap aspek  insani  dalam  melayani  mereka  dengan
memberikan  makanan  ruhani  dan  perasaan  mereka yang
tidak dapat terpenuhi dengan makanan yang mengenyangkan
perut dan pakaian penutup tubuh.
 
Dalam  menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau
dalam mempergauli isteri, Imam Ibnu Qayyim berkata:
 
"Sikap Rasulullah saw. terhadap isteri-isterinya  ialah
bergaul dan berakhlak baik kepada mereka. Beliau pernah
menyuruh gadis-gadis Anshar  menemani  Aisyah  bermain.
Apabila  isterinya  (Aisyah)  menginginkan sesuatu yang
tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila
Aisyah  minum  dari  suatu  bejana,  maka  beliau ambil
bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau
letakkan  mulut  beliau  di  tempat  mulut  Aisyah tadi
(bergantian minum pada satu bejana/tempat), dan  beliau
juga biasa makan kikil bergantian dengan Aisyah."
 
Beliau  biasa  bersandar  di  pangkuan  Aisyah,  beliau
membaca  Al  Qur'an  sedang  kepala  beliau  berada  di
pangkuannya.  Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh,
beliau  menyuruhnya   memakai   sarung,   lalu   beliau
memeluknya.  Bahkan,  pernah  juga  menciumnya, padahal
beliau sedang berpuasa.
 
Diantara kelemahlembutan dan akhlak  baik  beliau  lagi
ialah   beliau   memperkenankannya  untuk  bermain  dan
mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang  Habsyi
ketika  mereka  sedang  bermain di masjid, dia (Aisyah)
menyandarkan kepalanya ke pundak beliau  untuk  melihat
permainan  orang-orang  Habsyi  itu. Beliau juga pernah
berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan  keluar  dari
rumah bersama-sama.
 
Sabda Nabi saw:
 
"Sebaik-baik  kamu  ialah  yang  paling  baik  terhadap
keluarganya, dan aku  adalah  orang  yang  paling  baik
terhadap keluargaku."
 
Apabila   selesai   melaksanakan   shalat  ashar,  Nabi
senantiasa mengelilingi (mengunjungi)  isteri-isterinya
dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba
beliau pergi ke rumah isteri beliau yang pada waktu itu
tiba  giliran  beliau  untuk  bermalam. Aisyah berkata,
"Rasulullah  saw.  tidak   melebihkan   sebagian   kami
terhadap  sebagian  yang  lain dalam pembagian giliran.
Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu
mendekati  tiap-tiap  isteri beliau tanpa menyentuhnya,
hingga  sampai  kepada  isteri  yang  menjadi   giliran
beliau, lalu beliau bermalam di situ."1
 
Kalau  kita  renungkan apa yang telah kita kutip disini
mengenai petunjuk Nabi saw.  tentang  pergaulan  beliau
dengan  isteri-isteri  beliau, kita dapati bahwa beliau
sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka,
dan   mendekati  mereka.  Tetapi  beliau  mengkhususkan
Aisyah dengan perhatian lebih, namun ini bukan  berarti
beliau   bersikap  pilih  kasih,  tetapi  karena  untuk
menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih
perawan dan karena usianya yang masih muda.
 
Beliau  mengawini  Aisyah ketika masih gadis kecil yang
belum mengenal seorang  laki-laki  pun  selain  beliau.
Kebutuhan  wanita  muda  seperti ini terhadap laki-laki
lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih
tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan
kebutuhan disini bukan  sekadar  nafkah,  pakaian,  dan
hubungan biologis saja, bahkan kebutuhan psikologis dan
spiritualnya lebih penting  dan  lebih  dalam  daripada
semua  itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita
lihat  Nabi  saw.  selalu  ingat  aspek  tersebut   dan
senantiasa   memberikan   haknya   serta  tidak  pernah
melupakannya  meskipun  tugas  yang  diembannya  besar,
seperti  mengatur  strategi dakwah, membangun umat, dan
menegakkan daulah.
 
"Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang
bagus bagi kamu."
 
Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.
 
Catatan kaki:
 
1 Zadul Ma'ad 1:78-79, terbitan Sunnah Muhammadiyyah.
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X